Viva la Vida
Saya adalah anak bola. Pindah ke Eropa merupakan impian semua orang yang suka dengan sepak bola; dari pemain sampai penikmat. Sebagai penyuka bola, apa yang lebih menyenangkan dari melihat langsung tim-tim kelas atas di stadion bersama puluhan ribu manusia. Menikmatinya sembari minum bir. Dan dengan jadwal pertandingan yang masuk akal; UEFA Champions League jam delapan malam, checked!.
Dan saya sudah punya tim lokal favorit. Bukan tim dari Bundesliga, Die Alte Dame Hertha Berlin SC tapi si merah Die Eisernen, 1.FC Union Berlin yang masih berjuang di 2.Bundesliga.
Ada dua peristiwa bola penting di 2018; yang pertama 1.FC Union Berlin hampir saja promosi ke Bundesliga. Yang kedua adalah Piala Dunia 2018 di Rusia.
Jerman adalah salah satu negara terbaik di bidang sepak bola: dari segi budaya dan prestasi. Mereka datang ke Piala Dunia dengan status juara dunia.
Bagi pengamat bola, status ini adalah kutukan. Karena biasanya sang juara tidak lolos fase grup di perhelatan Piala Dunia selanjutnya.
Menurut saya dari sisi komposisi pemain, Die Mannschaft tidak sekuat empat tahun yang lalu. Meski ada Kimmich sebagai wonderkid, sudah tidak ada Lahm, Schweinsteiger, Podolski, dan Klose. Plus performa Neuer yang menurun. Susah, susah.
Tapi menikmati gelaran Piala Dunia di Jerman adalah pengalaman yang sangat menarik.
Jadwal main pertandingan di siang hari dan di hari kerja membuat suasana kantor berubah. Monitor besar yang biasanya menjadi tempat Grafana dashboard disulap menjadi layar nonton bareng.
Bar, kafe, dan restoran menjadi lebih semarak. Dalam masyarakat yang begitu menghargai ketenangan, acara sepak bola (dan malam Santo Silvester) adalah paradoks orang Jerman. Mereka berubah 180⁰. Suara terompet, genderang, dan petasan terdengar sampai malam ketika Jerman menang di menit terakhir lawan Swedia di pertandingan kedua. Dan orang-orang tak merasa terganggu.
Nasionalisme adalah hal yang sensitif di Jerman. Lebih dari tujuh dekade setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2, orang Jerman masih punya ketakutan atas patriotisme. Jika di Indonesia memasang bendera adalah kebanggaan tak kenal waktu; di Jerman, selain hari-hari tertentu memasang bendera masih dianggap kecerobohan.
Di Berlin, sebagai ibu kota Jerman, menemukan bendera hitam, merah, dan emas adalah seperti bermain Where’s Wally?
Hal yang sama juga ditemukan di kota-kota Jerman lainnya. Kebanggaan nasional masih dianggap tabu. Jika mengibarkan bendera adalah bentuk cinta tanah air, maka tidak ada orang Jerman yang terang-terangan bilang, “Aku cinta Jerman.” Padahal bendera ini sudah digunakan jauh sebelum era Hitler.
Namun, tetap saja, bendera adalah simbol bagi Jerman dan Jerman adalah negara bermasalah bagi orang Jerman untuk diajak bekerja sama secara sejarah.
Mungkin itulah sebabnya mengapa negara ini sangat bersemangat tentang Piala Dunia. Acara ini adalah satu-satunya kesempatan orang Jerman menjadi gila dan dengan tanpa beban mengibarkan bendera tiga warna ini.
Di Berlin, perayaan Piala Dunia terpusat di Straße des 17. Juni sampai Branderbuger Tor yaitu Fanmeile Berlin: nobar terbesar di Jerman yang dikunjungi oleh lebih dari 750 ribu orang di tiap pertandingannya.
Kami datang di pertandingan pertama Jerman lawan Meksiko.
Ada pemeriksaan keamanan di semua pintu masuk. Barang-barang yang tidak diperbolehkan di halaman Fanmeile akan disita oleh staf keamanan. Ini termasuk benda tajam, benda yang dapat digunakan sebagai senjata, botol kaca, kaleng aerosol, mug, tas besar, koper, kursi, kembang api dan barang piroteknik lainnya, tiang bendera besar, megafon, minuman beralkohol, hewan, dan penunjuk laser.
Kami diperbolehkan membawa tas goni, tas olahraga, tas ikat pinggang, atau tas tangan kecil.
Hasil pertandingannya adalah Meksiko 1 Jerman 0. Awal yang buruk. Tapi masih optimis untuk lolos fase grup.
Berlin meledak setelah menang di pertandingan kedua melawan Swedia.
Dan pada akhirnya Jerman menjadi juru kunci di grup F setelah kalah lagi melawan Korea Selatan.
Yang lucu adalah bagaimana mereka terbiasa menerima kekalahan. Seorang bapak menyelamati kami karena disangka kami dari Korea Selatan ketika melihat muka Kelana.
Hari itu menjadi hari paling sunyi di Berlin. Tidak ada sorak sorai. Semua kafe mendadak murung. Jerman yang sedih. Sang raja telah kalah.
I used to rule the world
Seas would rise when I gave the word
Now in the morning I sleep alone
Sweep the streets I used to own