Every Kinda People
Berlin masa lalu adalah tempat dua kediktatoran di abad ke-20. Dan Berlin tidak ingin mengulangi sejarah yang kelam itu.
Sekarang ibu kota Jerman ini sangat mendukung kebebasan, kemajuan, multi kultur, dan keragaman. Berlin adalah tempat untuk orang-orang yang berpikiran terbuka dari seluruh dunia, Berliner Schnauze katanya.
Ada lebih dari 180 kebangsaan di kota ini. Di Zalando sendiri ada lebih dari 130 kewarganegaraan dari lebih dari 12.000 orang karyawan.
Berlin adalah city of freedom. Ia merupakan simbol untuk kebebasan.
In Berlin kannst du alles sein.
Kamu bisa jadi apa saja di Berlin, apalagi cuma jadi diri sendiri. Di Berlin bisa dipastikan jarang ada pandangan mata menghakimi jika kamu berbeda.
Dengan tetap menjadi minoritas ketika pindah dari Indonesia ke Jerman maka saya bisa menilai toleransi dengan lebih berimbang.
Bahwa mengubah ide dari sekelompok golongan adalah sesuatu yang tidak mudah. Orang rasis dan xenophobic ada di mana-mana. Tapi ia hanya sebagian kecil yang bersuara lebih keras dan biasanya ada silent majority yang punya nilai-nilai yang berpihak pada kemanusiaan.
Di Berlin, tidak ada yang diam. Kebebasan berpendapat dimaksimalkan dengan baik. Dari mayoritas, minoritas, haluan kanan jauh sampai kiri.
Tapi yang membedakan Jerman dari Indonesia saat ini adalah; di Jerman kebijakan negara sebagai pemerintah diwujudkan dengan produk undang-undang yang melindungi hak semua warga negara dan penduduk tanpa diskriminasi. Dan tentu saja penegakan hukum yang tegas.
Bagi minoritas hal ini sangat penting.
Tapi bagi mayoritas yang pindah ke Berlin dan mau tidak mau menjadi minoritas, bisa jadi ada gegar budaya. Mungkin akan mengalami pengalaman pertama racial slur, stereotyping, atau diskriminasi yang tidak pernah dialami sebelumnya di Indonesia.
Tapi sekali lagi, orang-orang macam ini ada di mana-mana, bedanya di Jerman perbuatan semacam ini melanggar hukum dan bisa dipidanakan.
Tidak ada diskriminasi dengan menjadi Kaukasia, Afrika, Asia, heteroseksual, LGBTQ+, Kristen, Sunni, Syiah, Ahmadiyah, atau Ateis.
Dan di Berlin, sebagai kota internasional dan rumah bagi setengah juta pendatang dari seluruh dunia, keragaman ini dirayakan setiap hari.
Salah satu perayaan yang paling terkenal adalah karnaval tahunan yang diadakan tiap musim semi setelah Pantekosta: Karneval der Kulturen.
Karneval der Kulturen adalah tentang merayakan koeksistensi damai antara semua budaya berbeda yang menganggap Berlin adalah rumahnya. Perayaan di mana orang-orang dengan latar budaya yang berbeda berbagi ide, harapan, dan impiannya dalam berbagai macam kreasi.
Paradenya berlangsung pada 20 Mei 2018 di kecamatan Kreuzberg, tempat semua hal gila di Berlin terjadi.
Dimulai di tahun 1996, ia terinspirasi oleh perayaan serupa di Eropa, seperti Notting Hill di London dan Zomercarnaval di Rotterdam.
Kami berbaur dengan jutaan orang Berlin melihat karnaval, minum bir, dan makan currywurst. Saya yakin setengah populasi Berlin ada di Kreuzberg hari itu. Semangatnya mirip 17an.
Di karnaval itu saya merayakan perbedaan sebagai pendatang baru di Berlin; pendatang yang mulai menyebut kota ini sebagai rumah.
There is no profit in deceit
Honest men know that
Revenge does not taste sweet
Whether yellow, black or white
Each and every man’s the same inside
Ooh, it takes every kinda people
To make what life’s about, yeah
It takes every kinda people
To make the world go ‘round