Achtung Baby
Apa yang bisa menyebabkan manusia memikirkan kembali pilihan-pilihan hidupnya dan mimpi-mimpinya?
Bagi saya. Jawabannya adalah Kelana. Anak perempuan saya yang baru berusia beberapa bulan.
Ia bagai badai kecil yang menghancurkan konstelasi kenyamanan kami.
Di posisi karir kami sekarang: saya software engineer di Mapan dan istri sebagai marketing manager di Disney, kami adalah pasangan kelas menengah yang berkecukupan.
Tidak kaya sekali. Tapi cukup.
Tempat kerja kamipun menawarkan work life balance. Sesuatu yang jarang didapatkan di Jakarta.
Secara finansial, mental, dan waktu berkualitas: tidak ada masalah dengan hadirnya Kelana.
Tapi membayangkan membesarkan Kelana di Jakarta membuat hati kami ciut.
Yogyakarta adalah kota yang selalu muncul di setiap diskusi kami tentang tempat ideal kami untuk membesarkan Kelana. Ini jelas bias karena kami lulusan UGM, bahkan saya memulai pendidikan di kota pelajar ini di SMA 3.
Hadirnya Kelana sudah mengijinkan kami untuk bermimpi keluar dari Jakarta.
Lalu timbul keinginan untuk lebih dari itu.
Bagaimana jika kami membesarkan Kelana di tempat layak huni di dunia. Tak hanya di Indonesia.
#1 Menentukan negara tujuan
Kesukaan kami akan jalan-jalan membuat kami sadar bahwa kota-kota di dunia tak diciptakan setara. Ada daftar kota-kota spesial dengan atribut paling layak huni. Kota-kota yang memanusiakan manusianya. Kota-kota yang menyediakan air bersih, udara yang sehat, makanan yang cukup dan tempat tinggal yang layak.
Melbourne dan Wina adalah dua kota yang bolak-balik jadi nomer satu. Kami suka sekali dua kota itu. Saya bahkan sempat bekerja untuk perusahaan di Melbourne beberapa tahun yang lalu. Tapi Melbourne jauh dari mana-mana. Dan lowongan kerja untuk software engineer seperti saya di Wina tidak cukup banyak.
Kota-kota di Amerika sangat jarang terlihat, bahkan mungkin tidak ada di beberapa daftar. Ini bisa dimaklumi karena banyaknya penembakan di sekolah. Amerika tidak masuk ke dalam daftar buruan. Kami tidak mau membesarkan Kelana dalam cemas pada setiap ia berangkat sekolah.
Diperlukan teori himpunan agar kami bisa mendapatkan lebih banyak opsi kota layak huni.
Jika A adalah bidang keahlian saya dan B adalah lowongan software engineer di kota-kota layak huni maka irisan himpunan A ∩ B menghasilkan hasil kota-kota sebagai berikut yang menawarkan peluang: Singapura, Tokyo, Zürich, München, Amsterdam, Berlin, dan Hamburg.
#2 Mencari lowongan kerja yang sesuai
Saya menggunakan Stack Overflow untuk menyaring lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian saya.
Filternya kurang lebih begini:
Tech stack
Saya menguasai beberapa keahlian tapi tidak semua keahlian saya suka mengerjakannya. Misalnya saya tidak akan mengambil lowongan untuk software engineer jika bahasa pemrogramannya PHP, JavaScript, atau Android Java karena it doesn’t spark joy. Fokus saya di Go, Rust, atau Swift.
Visa sponsors dan relokasi
Ini akan mempermudah kami jika nantinya diterima dan mengambil penawaran kerja di negara tersebut. Dan jika opsi ini tidak difilter biasanya memang mencari tenaga kerja yang memenuhi syarat untuk bekerja, entah warga negara tersebut atau sudah memiliki visa kerja.
#3 Aksi
Dari beberapa pilihan saya menetapkan akan mengirim email ke tiga perusahaan ini: Grab di Singapura, HelloFresh dan Zalando di Berlin.
Sebelumnya saya perlu untuk memperbarui laman LinkedIn dan portofolio di CV dan website saya. Bagi saya tidak apa sombong; asal jangan bohong.
Perkara menulis cover letter adalah hal yang mudah bagi saya dibanding menekan tombol kirim. Entah.
Tapi pada akhirnya terkirim juga 3 email itu.
#4 Balasan
Lalu buku Achtung Baby dari Sara Zaske itu datang.
Buku ini bercerita seputar bagaimana pengalaman membesarkan anak kecil di Berlin dari keluarga kecil asal Amerika yang pindah sementara ke ibu kota Jerman ini.
Judul buku ini sama dengan judul album U2, yang terjemahan bebasnya “Awas (Bayi)!”. Album ini direkam di Berlin di awal tembok itu runtuh. Karena Berlin timur di era komunis memiliki sedikit sekali kebebasan dan dengan banyaknya tentara di setiap sudut, maka kata ini sering sekali terdengar.
Saya cukup terkejut dengan fakta bahwa cara membesarkan anak di Amerika mirip dengan Indonesia. Ternyata kita lebih dekat secara budaya ke Amerika dibanding Eropa meskipun bekas koloni Belanda dan Portugal.
Contohnya adalah orang tua helikopter; bagaimana anak kecil selalu ditemani orang tua untuk banyak aktivitas, mulai dari ke taman, sekolah, supermarket, berkemah, dan seterusnya.
Tapi ini mungkin saja karena faktor keamanan anak di Amerika dan Indonesia ini mirip. Sama-sama buruk. Sehingga proteksi berlebihan memang diperlukan.
Contoh lain adalah banyaknya larangan yang diberikan orang tua pada anak kecil.
Sementara di Berlin, anak kecil diberi kebebasan dan tanggung jawab. Dus ketika ini terjadi, para orang tua Amerika dan Indonesia akan banyak menjerit, “Awas!”
Judul buku ini adalah anggukan hormat Zaske pada U2.
Ketika nilai-nilai tentang kebebasan dan kemandirian ini adalah nilai yang penting bagi kami, maka pilihan-pilihan itu menjadi semakin jelas.
Saya menolak penawaran kerja dari Singapura, salah satunya karena alasan itu. Dan faktor bahwa beberapa bulan yang lalu saya pernah mencicipi bekerja di Garena Singapura.
Saya lalu memutuskan untuk meneruskan proses seleksi di dua perusahaan Berlin secara paralel.
Di pengalaman kami yang belum banyak ini; dengan mengetahui dan sadar apa yang ingin kami inginkan, kami tidak akan menganggap semua proses menuju ke arah itu sebagai masalah. Ini berdampak pada model mental kami dalam menghadapi krisis.
Dan bisa jadi yang membuat kami jarang mengeluh.
When life throws you curveballs, hit them out of the park!
I’m ready
Ready for the gridlock
I’m ready
To take it to the street
Ready for the shuffle
Ready for the deal
Ready to let go
Of the steering wheel
I’m ready
Ready for the crush